Industri makanan merupakan industri yang banyak pelakunya. Kemudahan mendapatkan bahan, pengolahan, dan pasar yang luas membuat semakin banyaknya pelaku industri makanan mulai dari skala rumah tangga hingga nasional.
Sebelum menjual produknya ke pasaran, ada beberapa syarat yang perlu dipenuhi. Salah satunya adalah sertifikat halal. Sebagai negara yang berpenduduk mayoritas muslim, produk makanan dengan label halal menjadi salah satu yang banyak dicari.
Sertifikasi halal menjadi bagian yang penting bagi pelaku industri makanan. Adanya label halal pada kemasan produk akan memberikan rasa aman kepada konsumen. Saat konsumen sudah merasa aman dengan produknya, maka konsumen akan percaya dan loyal terhadap produk atau brand tersebut. Hal tersebut akan meningkatkan citra perusahaan sehingga produk memiliki daya saing yang lebih tinggi dibandingkan produk lainnya. Selain itu, adanya label halal pada produk makanan juga menunjang kebijakan pemerintah mengenai adanya label halal untuk seluruh produk makanan dan minuman pada tahun 2024 yang tertuang pada Masterplan Economy Syariah Indonesia 2019 – 2024.
Untuk dapat mengajukan sertifikat halal, pelaku industri makanan harus memenuhi syarat berikut:
a. Surat Permohonan Sertifikasi Halal
b. KTP dan foto penanggungjawab perusahaan
c. SK Penunjukkan Tim Auditor Halal
d. Salinan dokumen penunjang (IUMK, PIRT, SNI dan MD untuk AMDK)
e. Sertifikat Pelatihan SJH
f. Surat Pernyataan Perusahaan Bermaterai
g. Salinan SJH
h. Salinan hasil audit internal SJH
i. Alur Proses Produksi
Salah satu dokumen yang cukup asing dari persyaratan di atas adalah SJH atau Sistem Jaminan Halal. Di dalam SJH terdapat beberapa bagian yang perlu diperhatikan:
1. Kebijakan Halal
Perusahaan telah memiliki kebijakan halal yang telah disosialisasikan.
2. Tim Manajemen Halal
Perusahaan memiliki tim yang terlibat dan bertanggung jawab dalam aktivitas kritis terkait halal.
3. Pelatihan dan Edukasi
Perusahaan memiliki prosedur tertulis mengenai pelaksanan pelatihan dan edukasi mengenai kebijakan halal.
4. Bahan
Bahan baku yang digunakan tidak boleh berasal dari bahan yang haram dan najis.
5. Produk
Produk yang dihasilkan, baik dari produk itu sendiri maupun dari merk dan nama yang digunakan, tidak boleh memiliki kecenderungan bau, rasa, dan nama yang mengarah kepada produk haram
6. Fasilitas Produksi
Seluruh peralatan dan fasilitas produksi tidak ada kontaminasi baik langsung maupun tidak langsung dengan bahan/produk yang haram/najis
7. Prosedur Tertulis Aktivitas Kritis
Perusahaan memiliki prosedur mengenai aktivitas pada rantai produksi yang dapat memengaruhi status kehalalan produk
8. Kemampuan Telusur
Perusahaan memiliki prosedur tertulis untuk menjamin kemampuan telusur produk yang disertifikasi berasal dari bahan dan diproduksi di fasilitas produksi yang memenuhi kriteria.
9. Audit Internal
Memiliki prosedur tertulis mengenai audit internal pelaksanaan SJH.
10. Kaji Ulang Manajemen
Perusahaan mengkaji ulang manajemen untuk menilai efektifitas penerapan SJH dan merumuskan perbaikan berkelanjutan.
Prosedur yang perlu dilakukan untuk mendapatkan sertifikat halal adalah:
1. Pemohon melakukan pendaftaran pada LPPOM MUI DIY
2. Pemohon mengisi formulir pendaftaran
3. Pemohon menyusun dokumen Sistem Jaminan Halal (SJH)
4. Setelah pengisian formulir pendaftaran dan penyusunan dokumen SJH selesai, pemohon mengembalikan ke LPPOM MUI.
5. Pemohon melakukan pembayaran akad sertifikasi
6. Pelaksanaan audit setelah perusahaan sudah lolos pre audit dan akad sudah disetujui
7. Sidang Internal LPPOM-MUI
8. Sidang Komisi Fatwa MUI
9. Pemohon mendapatkan sertifikat halal
Sumber: LPPOM-MUI